Inspeksi Wilayah
Dua kali pintu kamar paviliun Adjeng Taroe Resmi diketuk. Seketika ia bangkit dari sofa, melangkah ke arah pintu. Tidak meleset, yang mengetuk pintu adalah Boepati Raden Mas Toemenggoeng Ario Soerio Poesponegoro.
''Saya ingin bicara sebentar dengan Den Ayu.''
''Silakan duduk, ndara.''
''Di luar saja. Sambil menikmati udara malam.''
''Silakan ndara.''
Duduk di kursi di sebelah kiri meja, sapuan mata bupati leluasa melihat pendapa dan halaman yang mengitarinya. Selama ini tidak ada waktu untuk meluangkan perhatian pada hal-hal yang remeh-temeh seperti itu.
Dari teras paviliun, memori bupati memutar balik arah jarum jam. Teringat pada pesta pora dalam halalbihalal di pendapa pada Kamis pagi hingga Jumat pagi. Ia terkesiap akan keberadaan fisik pendapa, sejak sebelum pesta dengan panggung hiburan tandak, saat pesta berlangsung, hingga Sabtu malam ini, dan hingga kembali seperti sediakala. Tetaplah sama.
Yang membedakan hanya pada soal situasi atau kegiatan yang dilangsungkan di tempat yang menjadi simbol pemerintahan itu. Tiang-tiang kayu jati, yang menyangga bangunan pendapa dapat berdiri gagah, tegak di tempatnya. Lantai pualam yang memperindah tidak mengalami pergeseran atau perubahan bentuk, hanya sedikit tergores akibat gesekan kaki kursi.
''Maaf ndara, kalau terlalu lama menunggu.''
Bupati tergagap. Tak menyadari, saat ditinggal Adjeng masuk ke kamar, ternyata ia sedang terseret pusaran keterngelamunan.
''Tidak apa-apa.''
''Ini sampanye dari ndara masih tersisa dua botol. Juga candu, baru saya pakai tak seberapa.''
''Saya pikir kalau sampanyenya suda habis, tadi saya mau minta pesuruh untuk mengambilkan lagi.''
''Satu botol baru habis tadi pagi. Yang dua botol ini memang sengaja saya siapkan untuk saya nikmati bersama ndara.''
''Tentu ini merupakan suatu kehormatan bagi saya.''
''Justru saya ndara, yang memeroleh penghormatan, dan bahkan saya rasakan sebagai kehormatan bagi saya yang amat berlebih. Sangat istimewa bagi perempuan seperti saya.''
Adjeng menuangkan sampanye pada dua gelas sloki, semua hampir rata permukaan gelas. Duduk di kursi sebelah kanan meja marmer bundar, Adjeng kemudian meraih satu gelas yang telah diletakkan di atas meja dan menyerahkan kepada bupati. Kemudian toast, gelas yang dipegangnya disentuhkannya dengan gelas yang ada dalam genggaman bupati. ''Tik, tik'' bunyi benturan ketika toast, tenggakan pertama berbarengan pun dilakukan.