Sempat Lesu Karena Petani Tak Bergairah, Ekspor Salak Sleman Kembali Menggeliat

- Jumat, 27 Agustus 2021 | 14:59 WIB
Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa mendampingi pekerja CV Mitra Turindo, Imorejo, Wonokerto, Turi menyortir buah salak untuk diekspor, Kamis (26/8).(suaramerdeka.com/dok)
Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa mendampingi pekerja CV Mitra Turindo, Imorejo, Wonokerto, Turi menyortir buah salak untuk diekspor, Kamis (26/8).(suaramerdeka.com/dok)

SLEMAN, suaramerdeka.com - Kabupaten Sleman kembali melakukan ekspor buah salak ke Kamboja, setelah hampir satu tahun vakum akibat pandemi Covid-19.

Pengiriman kali ini dilakukan lewat jalur laut.

"Mulai akhir Agustus tahun ini sudah bisa mengekspor lagi salak ke Kamboja sebanyak 5 ton per minggu dengan kapal laut. Harapannya jalur udara segera dibuka sehingga ekspor dapat meningkat kembali, " jelas Suroto selaku Ketua Paguyuban Petani Salak Pondoh Sleman yang tergabung pada CV Mitra Turindo, Jumat (27/8).

Ekspor salak sejatinya sudah berlangsung sejak tahun 2017 dengan angka permintaan 150 ton. Kemudian pada tahun 2018 meningkat menjadi 350 ton. Pada tahun berikutnya Sleman mampu mengekspor 650 ton salak.

Namun pada tahun 2020 ketika wabah Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, ekspor salak turun drastis menjadi 160 ton. Hal ini disebabkan adanya kendala transportasi.

Namun tidak hanya masalah transportasi saja yang menjadi kendala. Suroto mengungkapkan hambatan lain adalah minat petani salak yang mulai berkurang.

"Kami minta perhatian pemerintah daerah untuk membuat program yang dapat meningkatkan kembali gairah pertanian salak di Sleman," ucapnya.

Merespon kendala itu, Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa menyampaikan siap memberikan pendampingan kepada petani salak. Terlebih, buah salak sudah menjadi salah satu ikon Kabupaten Sleman.

Sayangnya, hal itu kontras dengan luasan lahan yang terus menyusut. Saat ini, luas area perkebunan salak di tiga sentra kapanewon meliputi Turi, Tempel dan Pakem kurang lebih 3000 hektar tapi yang masih aktif hanya sekitar 1.500 hingga 2 000 hektare. Lahan tersebut digarap oleh 34 kelompok petani.

"Semoga dengan adanya aktivitas ekspor ini bisa membangkitkan lagi semangat petani," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY Sugeng Purwanto menjelaskan, salak merupakan salah satu dari dua komoditi di DIY yang sudah tembus pasar ekspor. Komoditi lainnya adalah gula semut dari Kulon Progo.

"Salak pondoh dan gula semut telah merambah pasar ekspor dengan nilai Rp 53 miliar per tahun," katanya.

Di lain sisi, dia mengakui adanya penurunan produktivitas salak. Penyebabnya selain regenerasi petani, dipicu pula faktor alih fungsi lahan dan usia tanaman yang sudah mencapai 20 tahun.

"Kami akan mencoba peremajaan tanaman salak, perluasan lahan dan menarik minat generasi milenial untuk terjun pada hortikultura ini," pungkasnya.

Halaman:

Editor: Edyna Ratna Nurmaya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X