NEW YORK, suaramerdeka.com - Menyusul berkurangnya kekhawatiran atas perang perdagangan antara China dan Amerika Serikat, kurs dolar AS melemah terhadap mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB). Dolar juga turun tipis terhadap euro dan jatuh ke level terendah hampir tiga minggu terhadap Aussie yang sensitif risiko.
Adapun Euro diperdagangkan 0,14 persen lebih tinggi terhadap greenback. Dolar Australia sendiri diperdagangkan 0,69 persen lebih tinggi, tertinggi sejak 30 Agustus, usai dilihat sebagai sebuah proxy untuk perdagangan-perdagangan terkait China serta sebuah barometer sentimen risiko yang lebih luas.
Selasa (18/9) tarif baru atas barang-barang AS diberlakukan China senilai 60 miliar dolar AS, seperti yang direncanakan, tetapi menurunkan tingkat tarifnya. Tarif baru Washington ditetapkan sebesar 10 persen untuk saat ini, sebelum naik menjadi 25 persen pada akhir 2018, bukan langsung 25 persen.
"Reaksi pasar tampaknya menunjukkan bahwa pengumuman tarif secara keseluruhan pada sisi lemah dari ekspektasi pasar," kata Alvise Marino, ahli strategi valas Credit Suisse di New York.
Selera risiko (risk appetite) meningkat di seluruh pasar. Mata uang negara-negara berkembang menguat, dipimpin oleh rupee India setelah China mengatakan tidak akan membalas dengan devaluasi mata uang kompetitif.
Ketegangan-ketegangan terkait dengan perdagangan yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir, umumnya mendukung dolar AS terhadap mata uang yang dianggap berisiko. Meskipun suasana melemah pada Rabu (19/9), beberapa pelaku pasar masih melihat kekuatan untuk dolar.
"Ini adalah mata uang cadangan juara dan memiliki suku bunga Fed funds yang bebas risiko. Jadi, mata uang dengan risiko terendah menawarkan imbal hasil tertinggi di G10. Selama kelainan ini bertahan, Anda tidak bisa secara strategis menjual dolar," kata Andreas Koenig kepala valas global di manajer aset Amundi.