JAKARTA, suaramerdeka.com - Penerapan berbagai hambatan non-tarif atau non-tariff measures menghambat potensi pertumbuhan industri makanan dan minuman.
"Pertumbuhan industri makanan minuman perlu didorong dengan kebijakan yang supportive dan fokus pada ketersediaan bahan baku," terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.
Pertumbuhan industri makanan dan minuman di triwulan III-2022 mencapai 3,57 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat 3,49 persen.
Baca Juga: Info Prakiraan Cuaca Semarang 9 Desember 2022: Berawan Sepanjang Hari
Pada periode yang sama, industri makanan dan minuman berkontribusi sebesar 37,82 persen terhadap PDB industri pengolahan non-migas dan menjadi sub sektor dengan kontribusi PDB terbesar.
Ada beragam jenis kebijakan non-tarif, seperti kuota impor, sanitary and phytosanitary, persyaratan teknis, inspeksi pra-pengiriman, atau karantina.
Dari 2015 hingga 2021, jumlah kebijakan non-tarif telah bertambah 26 persen.
Baca Juga: Situasi Mapolsek Astana Anyar Berangsur Normal, Masyarakat Diberi Trauma Healing
Produk makanan dan minuman paling banyak diatur kebijakan non-tarif dibanding produk lainnya.
Penelitian CIPS menyebutkan, hambatan non-tarif melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman karena biaya bahan baku menjadi lebih mahal karena menambah biaya pemenuhan persyaratan, seperti ketentuan label, pengemasan, atau sertifikasi.
Artikel Terkait
Kemenperin Kuatkan Kerja Sama Industri, Latih Lebih dari 200 Ribu Orang Lewat Diklat 3 in 1
Airlangga Beri Wake Up Call bagi Riset dan Inovasi Industri Farmasi dan Kesehatan, Begini Isinya
Aviation Project, Kembangkan Minat Kreatif Generasi Muda Terhadap Industri Penerbangan
Dukung Perkembangan Industri Perbangan Indonesia, Bali International Airshow akan Digelar
Jaga Kestabilan Industri Perbankan, LPS Sesuaikan TBP Simpanan Valuta Asing