SLEMAN, suaramerdeka.com - Coklat adalah makanan yang digemari banyak orang mulai dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Yang sering dijumpai di pasaran adalah olahan coklat dicampur dengan kacang mete atau almond.
Bagaimana jika makanan bertekstur rasa manis itu dipadu-padankan dengan tempe?Jawabannya bisa dijumpai pada produk coklat tempe buatan Dyah Sunanik (54), warga Dusun Labasan, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman. Awalnya, ibu 3 anak ini hanya coba-coba tapi ternyata dia ketagihan hingga tertarik mengembangkannya menjadi sebuah bisnis.
Ditemui Suara Merdeka, kemarin, Dyah mengungkapkan lewat produk coklat tempe ini dia ingin mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat luar negeri. "Indonesia adalah daerah penghasil coklat tapi oleh-oleh berbahan coklat, kebanyakan justru dari luar negeri dan harganya mahal. Dari situ tercetus ide membuat coklat tempe karena tempe itu Indonesia banget," ujarnya.
Mulanya dia mencoba berbagai takaran sampai bisa mendapat menu racikan tempe yang pas diolah dengan coklat. Bahan baku tempe dia beli dari pedagang langganannya di pasar, dan produsen tempe di dekat rumahnya. Tempe yang diperoleh langsung dari perajin itu bisa menghasilkan produk yang lebih awet bahkan sampai 10 bulan.
Sedangkan bahan coklat diambil dari petani yang ada di wilayah Pakem. Jika tidak mencukupi, Dyah biasanya membeli dari petani di Gunungkidul. Bahan baku coklat kering itu kemudian dia olah sendiri namun masih secara manual menggunakan blender. Coklat hasil olahan itu kemudian dicampur dengan produk coklat yang ada di pasaran.
"Sebenarnya ingin semua diolah sendiri tapi belum mampu karena alatnya terbatas," kata Dyah.
Usaha itu mulai dia rintis sejak Januari 2018. Dalam mengenalkan produk, mula-mula dia membagikan tester pada anak-anak SMA Cangkringan. Waktu itu, mereka diberi dua varian masing-masing coklat isi kacang, dan satu lagi adonan tempe coklat. Ternyata, anak-anak lebih banyak yang suka dengan coklat tempe.
"Mereka tanya ini apa kok rasanya krenyes-krenyes. Dulu belum punya nama, kemudian itu (krenyes-krenyes) saya jadikan nama produk ini," ujarnya sembari tersenyum.
Namun dia lantas berubah pikiran. Pasalnya, nama Krenyes-krenyes dirasa belum menunjukkan identitas Indonesia. Akhirnya, Dyah memutuskan untuk meminjam nama kakeknya yaitu Pawiro.
Kini, cokelat Pawiro sudah dijual di 30 gerai oleh-oleh, swalayan maupun kampus di Yogyakarta. Pemasaran lewat online juga menembus Jakarta, Surabaya, Pontianak, dan Lampung. Per hari, Dyah dibantu dua karyawannya memproduksi sebanyak 1.000 pieces yang kemudian dijual seharga Rp 10.000-Rp 40.000 tiap wadah. Dyah juga mencoba bereksperimen dengan rasa sehingga kini muncul produk varian keju dan kelapa.