Siapa pun bisa membeli mainan kepala barongsai di PIS. Seperti halnya pembeli celengan Dugderan tidak sebatas muslim, kata Harjanto, masyarakat lain pun dipersilakan. Yang utama dari gelaran tersebut tentu bisa menggairahkan kehidupan ekonomi. Tak hanya penjual di Pasar Gang Baru yang pedagangnya juga multietnis, tapi pengusaha UMKM juga turut menggeliat, ada ruang untuk menjajakan dagangan. Apakah dagangan itu laris atau tidak laris, ya diserahkan kepada konsumen dan pedagangnya.
Tak berlebihan kiranya jika perayaan Imlek bukan menjadi konsumsi eksklusif masyarakat Tionghoa. Sebagaimana Idul Fitri, Idul Adha, dan Natal. Hampir semua masyarakat turut merasakan kegembiraan dalam perayaan hari besar tersebut. Ada kandungan nilai-nilai agama itu pasti dan tidak boleh terdegradasi. Alangkah semakin indah ketika keberagaman turut hadir dalam setiap perayaan itu. Ada jalinan interaksi sosial dari keluarga inti dan keluarga besar, menjadi harmoni keindonesiaan.
Salah satu bentuk akulturasi adalah wayang potehi. Asalnya dari Tiongkok. Namun dalang dan penabuh musik dalam PIS 2020 adalah orang Jawa dan muslim. Tak heran lagu yang dimainkan dari alat musik gembreng, simbal, suling, rebab, dan terompet itu menggemakan shalawat dan Syiir Tanpa Waton. Alunan tersebut tentu sulit kita temukan pada dua dekade silam. Nah, ini menjadi pekerjaan kita bersama untuk menularkan indahnya kebersamaan dan keberagaman kepada generasi milenial yang kelak jadi pemimpin bangsa.