Selalu ada yang menarik dalam merayakan Tahun Baru Imlek di Kota Semarang lebih dari satu dekade ini. Hiasan warna merah-kuning mencolok mudah terlihat di berbagai sudut, terutama di tempat-tempat ibadah umat Tionghoa. Kawasan Pecinan sudah pasti didominasi pernik-pernik perayaan, umat bersembahyang, membersihkan kelenteng, dan menjalankan tradisi. Tahun ini perayaan Imlek juga penuh dengan nuansa akulturasi. Masyarakat Jawa dan Tionghoa telah lama hidup bersisian tanpa jarak.
Apalagi selama tiga hari, 17-19 Januari, digelar Pasar Imlek Semawis (PIS) yang telah memasuki tahun ke-17 tanpa jeda. Mereka yang berpartisipasi dalam PIS merupakan bauran masyarakat. Tak hanya didominasi satu komunitas. Sepanjang Jalan Wotgandul Timur-Jalan Gang Pinggir diramaikan dengan berbagai pengisi stan. Ada produk makanan jadi, olahan, kerajinan tangan, buku, mainan, wayang potehi, dan ketoprak. Tentu menggelar PIS 17 tahun tanpa jeda layak diapresiasi positif.
Gelaran tersebut memperkaya agenda Kota Semarang yang semakin moncer. Selain bentuk akulturasi, PIS dimaksudkan untuk mengangkat minat wisatawan berkunjung ke kota ini. Seperti dituturkan Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata Harjanto Halim, akulturasi adalah indah, saling mengadopsi, muncul sesuatu yang baru. Misalnya lunpia yang tidak harus sama persis dengan Tiongkok. Bahan dan rasa perlu disesuaikan dengan selera lidah dan budaya masyarakat setempat.