JAKARTA - Rencana pemberlakukan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anakanak menuai kontroversi. Sebagian pihak mendukung, sedangkan kalangan lain seperti Komnas HAM menolak keras.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mendukung hukuman kebiri kimia karena telah ditetapkan oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
”Kan sudah undang-undang, ya kita harus ikut. Kita nggak boleh melanggar undang-undang, itu saja. Saya mendukung,” kata Nila di kantor Kementerian Kesehatan, Senin (26/8). Dia meminta semua pihak menghormati keputusan Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman tersebut kepada Muhammad Aris (20) terpidana kejahatan seksual terhadap sembilan anak.
PN Mojokerto menjatuhkan tambahan hukuman kebiri kimia terhadap Aris, selain menetapkan hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Ini merupakan vonis pertama di Indonesia yang menerapkan pemberatan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Di tingkat banding, hukuman tersebut dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise juga mendukung hukuman kebiri. ”Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak,” kata Yohana melalui siaran pers, kemarin.
Yohana memuji putusan hakim PN Mojokerto itu. Menurut dia, instrumen hukum untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah seharusnya diterapkan gunakan aparat penegak hukum.
Yohana menilai hal itu merupakan langkah maju yang diharapkan memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. ”Itu adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan, sehingga efek hukuman tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok,” paparnya.
Yohana menambahkan, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan pemberatan hukuman melalui pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.