SEBAGAIMANA saya ketika mencari sebuah buku pada toko buku, koleksi teman, atau rak buku sendiri, tentu pemilihan judul ialah sesuatu yang begitu esensial. Memang ungkapan don’t judge a book by its cover, dalam hal ini judul juga merupakan “cover”. Namun dari judul kita sebenarnya bisa sedikit- banyak mengetahui lika-likunya bukan?
Sama dengan buku yang minggu ini baru bisa saya selesaikan. Buku karangan Toto Raharjo berjudul Sekolah Biasa Saja, saya tebak akan bercerita tentang kita sebagai murid yang tidak perlu begitu bersemangat dalam bersekolah. Bersikaplah sebagaimana kita di rumah terhadap apa yang ada di kelas. Nilai bukan sesuatu yang perlu kita kejar sehingga harus rela mengorbankan waktu tidur. Menghamburkan uang lebih untuk mengerjakan proyek yang biasanya hanya dinilai sekadar oleh penilai. Juga banyak halhal subtil lain yang kita dipaksa untuk sekuat tenaga karena dengan nilai maksimal masa depan akan aman. Tidak sepenuhnya salah, juga tidak sepenuhnya benar. Apa yang saya ramal dari judul itu ternyata hanya sepuluh persen benar. Ke mana sembilan puluh persen yang lain?
Itulah yang membuat saya betah untuk menyelesaikan membaca buku setebal (xxvii +) 252 halaman ini dalam beberapa hari saja. Jujur, itu prestasi bagi saya: dapat menyelesaikan membaca buku nonfiksi dalam waktu tak begitu lama. Awalnya buku ini bercerita tentang kegelisahan penulis tentang pendidikan, terutama institusi dan pola pengajaran. Tak akan ada habisnya ketika kita berbicara mengenai pendidikan, di mana pun dan dalam aspek apa pun. Pertama, bisa dimulai dari aspek biaya atau ekonomi. Permasalahan sejuta umat bukan?
Berapa kali kita mendengar, membaca, bahkan mengalami apa yang disebut komersialisasi pendidikan. Entah bangku sekolah dan bangku kuliah. Lalu yang kedua dari segi psikologis, misalnya. Sudah tak terhitung berapa banyak anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua yang depresi tidak masuk suatu jenjang pendidikan karena gagal lolos seleksi. Mengapa (banyak) instansi pendidikan justru hanya memilih calon peserta didik yang bisa disebut pintar. Padahal tujuan pendidikan ialah untuk mencerdaskan semua umat kan?